Menengok Cara Berburu Warisan Budaya Dayak di Perbatasan Kalimantan

Jedadulu
0

Suku Dayak di Kalimanta. (Foto: BNPP RI)
 

Bagi masyarakat Dayak di perbatasan Kalimantan–Malaysia, berburu bukan sekadar cara bertahan hidup, tetapi juga bagian dari budaya dan identitas. Sejak ribuan tahun lalu, tradisi berburu hadir sebagai perpaduan antara ketrampilan, ritual, serta penghormatan kepada alam.

 

Tradisi ini sejatinya bukan hanya milik Dayak. Di banyak belahan dunia, masyarakat adat juga memiliki kisah serupa. Di Afrika, suku Hadzabe hidup nomaden dan bergantung pada buruan. Suku Maasai di Kenya dahulu memburu singa sebagai syarat kedewasaan, meski kini dilarang. 

 

Di ujung Amerika Selatan, suku Selk’nam pernah dikenal sebagai pemburu guanaco. Semua itu menunjukkan bahwa berburu adalah warisan budaya universal yang melekat pada manusia sejak awal peradaban.

 

Masyarakat Dayak memiliki cara berburu yang khas. Sumpit dengan anak panah beracun yang disebut damak menjadi senjata utama. Racun alami dari getah ipuh menjadikan sumpit senyap sekaligus mematikan. Selain sumpit, tombak dan mandau juga digunakan sesuai kebutuhan.

 

Teknik berburu diwariskan turun-temurun. Ada yang memburu dengan sabar dan diam-diam, ada yang memasang jerat di jalur satwa, dan adapula yang berburu berkelompok untuk hewan besar seperti babi hutan. Semua dilakukan dengan pemahaman mendalam tentang hutan serta perilaku satwa yang mendiami dalamnya rimba.

 

Yang menarik, berburu bagi Dayak tidak pernah dilakukan secara berlebihan. Mereka hanya mengambil secukupnya, sementara hewan-hewan yang dianggap sakral atau sedang berkembang biak dibiarkan hidup. Bahkan, sisa tulang, kulit, hingga bulu hasil buruan dimanfaatkan kembali sebagai alat atau kerajinan.

 

Kalimantan adalah rumah bagi ratusan sub-suku Dayak dengan tradisi berburu yang beragam. Di Kapuas Hulu, Dayak Iban masih menjaga budaya berburu sambil mempertahankan tradisi rumah panjang. 

 

Dayak Punan, baik di Kalimantan Barat maupun Timur, dikenal sebagai pemburu-peramu nomaden. Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah memiliki kearifan berburu yang ketat meski lebih dikenal dengan upacara adat Tiwah.

 

Sementara itu, Dayak Kenyah dan Kayan di Kutai Barat hingga Malinau menjaga seni ukir dan tato, bersamaan dengan tradisi berburu di pedalaman hutan. Di Kalimantan Selatan, Dayak Meratus memadukan berburu dengan ritual syukur panen Aruh Baharin.

 

Keragaman ini memperlihatkan betapa kaya budaya Dayak sekaligus menyatukan filosofi bersama: berburu adalah cara hidup yang selaras dengan alam.

 

Berburu juga memiliki sisi spiritual. Sebagian kelompok Dayak masih memulai perburuan dengan doa atau ritual untuk meminta izin roh penjaga hutan. Hasil buruan kerap dibagi bersama komunitas sebagai simbol persaudaraan dan kebersamaan.

 

Selain itu, berburu juga menjadi bagian dari pendidikan budaya. Anak-anak Dayak diajarkan sejak kecil untuk mengenali jejak satwa, memahami tanaman obat, hingga menghormati batas dalam mengambil dari alam. Dengan demikian, tradisi ini bukan hanya aktivitas fisik, tetapi juga sarana mentransfer kearifan leluhur antargenerasi.

 

Seiring modernisasi dan hadirnya regulasi konservasi, frekuensi berburu semakin berkurang. Banyak satwa kini dilindungi sehingga aktivitas berburu dibatasi pada jenis tertentu yang masih melimpah. 

 

Meski demikian, nilai budaya berburu tetap dijaga. Festival budaya, pertunjukan sumpit, hingga ritual adat di perbatasan menjadi cara masyarakat Dayak melestarikan identitas mereka.

 

Berburu kini lebih dipandang sebagai warisan budaya ketimbang semata kebutuhan pangan. Ia menjadi simbol yang mengikat masyarakat Dayak pada akar tradisi, meskipun mereka hidup dalam dunia yang terus berubah.

 

Tradisi berburu suku Dayak adalah warisan leluhur yang mengajarkan keseimbangan hidup dengan alam. Filosofi sederhana yang mereka pegang adalah tidak pernah mengambil lebih dari yang dibutuhkan, dan selalu menghormati hutan sebagai rumah bersama.

 

Di tengah arus modernisasi dan batas negara, berburu tetap menjadi simbol identitas masyarakat Dayak di perbatasan Kalimantan–Malaysia. Ia bukan sekadar jejak masa lalu, melainkan cermin kearifan lokal yang mengajarkan arti hidup sederhana, menjaga alam, dan menjunjung tinggi warisan budaya.

 

24 Agustus 2025

 

(Hamidin/Kelompok Ahli BNPP RI)


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)