Home > Serba Serbi

Kesalahan Atribusi: Teori yang Menjelaskan Mengapa Orang Merasa tak Pernah Salah

Seseorang yang sukses dalam ujian menganggap itu bukti kecerdasan, tetapi jika gagal, mereka mungkin menyalahkan faktor eksternal seperti kesulitan soal atau gangguan selama ujian.

Penelitiannya membantu memahami mekanisme di balik proses pembuatan atribusi.Pada perkembangan selanjutnya, penelitian menyoroti bahwa atribusi tidak selalu mencerminkan kenyataan dan dapat dipengaruhi oleh sudut pandang individu. Berbagai jenis bias atribusi, seperti bias aktor-pengamat, muncul dalam kondisi tertentu.

Sementara model kognitif menganggap bias sebagai hasil dari kendala pemrosesan informasi, pendekatan motivasi menekankan peran motif dalam mendorong bias atribusi. Ini menunjukkan bahwa manusia bukanlah entitas pasif yang menafsirkan dunianya, tetapi aktif dan berorientasi pada tujuan dalam membuat atribusi.

Proses atribusi adalah proses persepsi yang menentukan apakah perilaku atau kejadian yang diamati disebabkan oleh faktor internal atau eksternal. Pentingnya proses ini terletak pada kemampuannya membentuk hubungan sebab-akibat dan memengaruhi respons perilaku serta tindakan di masa mendatang.

Atribusi internal mengacu pada kecenderungan untuk mengaitkan keberhasilan atau kegagalan dengan faktor internal seperti kemampuan, usaha, atau keputusan pribadi. Sementara itu, atribusi eksternal mencakup kecenderungan untuk menghubungkan hasil dengan faktor-faktor di luar kendali individu, seperti keberuntungan, situasi, atau tindakan orang lain.

Dengan kata lain, atribusi internal menempatkan tanggung jawab pada diri sendiri, sedangkan atribusi eksternal menempatkan tanggung jawab pada faktor di luar diri sendiri.

Atribusi adalah kecenderungan kita untuk mengambil kredit atas keberhasilan kita dengan membuat atribusi internal, namun menyalahkan orang lain atas kegagalan kita dengan membuat atribusi eksternal. Olahraga profesional menjadi arena pembelajaran untuk self-serving attribution. Dalam dunia olahraga, keterampilan, pengalaman, dan jenis olahraga pemain memengaruhi jenis atribusi yang dibuat pemain terhadap hasilnya.

Atlet yang kurang berpengalaman cenderung membuat atribusi yang mementingkan diri sendiri, sementara atlet yang berpengalaman menyadari tanggung jawab atas kekalahan mereka. Kebanyakan orang berupaya mempertahankan harga diri, bahkan dengan memutar balik kenyataan. Tragedi semacam itu bisa terjadi pada orang lain maupun pada diri sendiri, sehingga seringkali kita mengambil langkah-langkah untuk menyangkal fakta ini, salah satunya melalui atribusi defensif yang melindungi kita dari perasaan kerentanan dan kematian.

Proses atribusi umumnya terdiri dari beberapa langkah:

1. Pengamatan: Proses dimulai dengan pengamatan terhadap perilaku atau kejadian yang ingin diatribusikan. Ini bisa berupa perilaku seseorang, hasil dari suatu kegiatan, atau kejadian tertentu yang menarik perhatian individu.

2. Interpretasi: individu kemudian mencoba untuk menginterpretasikan kejadian atau perilaku tersebut. Mereka memproses informasi yang ada untuk mencari pemahaman tentang alasan di baliknya.

3. Atribusi Causal: Langkah selanjutnya adalah membuat atribusi tentang penyebabatau asal-usul perilaku atau kejadian tersebut. Atribusi dapat bersifat internal (disposisional) atau eksternal (situasional).

4. Penyesuaian Atribusi: individu bisa melakukan penyesuaian berdasarkan informasi tambahan yang diperoleh. Informasi baru ini dapat mengubah penilaian mereka tentang penyebab suatu kejadian.

5. Pengaruh pada Tindakan atau Persepsi: Atribusi yang dibuat oleh individu dapat mempengaruhi cara mereka merespon terhadap orang lain atau situasi tertentu. Cara kita bertindak atau berinteraksi seringkali dipengaruhi oleh atribusi yang kita buat.

Kesalahan Atribusi

1. Kesalahan Atribusi Fundamental

kecenderungan manusia untuk memberikan atribusi yang terlalu berlebihan terhadap faktor internal (sifat atau karakter) individu dan mengabaikan pengaruh faktor eksternal dalam menjelaskan perilaku orang lain. Ini cenderung meremehkan dampak situasi terhadap tindakan seseorang dan lebih menekankan pada aspek kepribadian atau karakteristik pribadi.

2. Efek faktor pengamat dalam bias atribusi

Terjadi ketika pengamat cenderung menilai perilaku seseorang berdasarkan faktor internal daripada faktor eksternal. Contohnya, jika seseorang gagal dalam ujian, pengamat mungkin cenderung mengatribusikan kegagalan tersebut kepada kurangnya usaha atau kecerdasan individu tersebut, tanpa mempertimbangkan faktor eksternal seperti kesulitan ujian atau gangguan yang mengganggu pada saat mengerjakan ujian.

Efek aktor-pengamat : merujuk pada tendensi kita untuk menjelaskan perilaku orang lain berdasarkan faktor internal atau kepribadian saat menjadi pengamat, sementara ketika menjadi aktor (subjek), kita cenderung lebih menyadari pengaruh faktor situasional atau eksternal. pengamat cenderung mengatribusikan perilaku orang lain kepada karakter atau sifat intrinsik mereka, tanpa mempertimbangkan situasi . Contohnya dapat ditemukan dalam tindakan seseorang di lingkungan kerja

3. Self serving bias

kecenderungan individu untuk mengatasi kegagalan dengan mengatribusikan kesuksesan kepada faktor internal, seperti kemampuan atau usaha pribadi, sementara kegagalan diatribusikan kepada faktor eksternal, seperti keadaan atau keberuntungan. Ini menciptakan pandangan positif terhadap diri sendiri dan membantu melindungi harga diri. Misalnya, seseorang yang sukses dalam ujian menganggap itu bukti kecerdasan, tetapi jika gagal, mereka mungkin menyalahkan faktor eksternal seperti kesulitan soal atau gangguan selama ujian.

Harold Kelley, seorang psikolog sosial yang terkenal, dikenal atas kontribusinya terhadap pemahaman tentang perilaku manusia melalui karyanya tentang teori interdependensi dan teori atribusi.

Pada tahun 1973, ia mengusulkan model kovariasi yang menjadi landasan bagi pemahaman kita tentang bagaimana orang membuat atribusi terhadap perilaku.Model kovariasi Kelley menyoroti tiga faktor utama yang mempengaruhi cara individu menjelaskan perilaku: konsensus, konsistensi, dan kekhasan.

Konsensus mengacu pada sejauh mana orang lain berperilaku dengan cara yang sama dalam situasi yang serupa. Konsistensi mengukur sejauh mana seseorang cenderung berperilaku dengan cara tertentu secara konsisten dalam berbagai situasi. Sedangkan kekhasan menyoroti sejauh mana perilaku seseorang dalam satu situasi berbeda dengan perilakunya dalam situasi lain.

Kelley menekankan bahwa orang cenderung membuat atribusi disposisional ketika konsensus rendah (sedikit orang yang berperilaku serupa), konsistensi tinggi (perilaku serupa terjadi secara konsisten), dan kekhasan rendah (perilaku tidak unik untuk situasi tertentu). Di sisi lain, atribusi situasional lebih mungkin terjadi ketika konsensus tinggi (banyak orang yang berperilaku serupa),

konsistensi rendah (perilaku bervariasi dalam berbagai situasi), dan kekhasan tinggi (perilaku unik untuk situasi tertentu).Penelitian Kelley membantu mengungkap mekanisme spesifik yang mendasari proses pembuatan atribusi, memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana orang memahami dan memberi makna terhadap perilaku orang lain dalam berbagai konteks sosial.

(Damar Pratama Yuwanto/berbagai sumber)

× Image